Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang di antara putra Sultan Abdul ma’ali Achmad dan perkawinannya dengan Ratu Martakusuma, seperti diketahui Sultan Abdul Ma’ali Achmad adalah putra Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang memenintah Banten 1596-1651. Dan catatan sejarah diketahui bahwa Ratu Martakusuma adalah seorang putri dan Pangeran Jakarta Wijayakrama. Pada waktu muda ia bergelar Pangeran Surya, adapun saudara seayah dan seibu dan Pangeran Surya adalah Ratu Kulon, Pangeran Kulon, Pangeran Lor dan Pangeran Raja. Adapun saudara-saudara yang seayah saja ialah Pangeran Wetan, Pangeran Kidul dan Ratu Tinumpuk.
Setelah Pangeran Surya itu diangkat oleh kakeknya sebagai Sultan Muda pengganti ayahnya yang wafat, maka ia diberi gelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Pangeran Ratu diangkat menjadi Sultan pengganti kakeknya yang bernama Abdul Mafakir Mahmud Abdul Kadir (Uka Tjandrasasmita. 1967:8). Sejak ia memegang tampuk pemerintahan serta sudah niendapat restu dan Mekkah, ia mendapat gelar Sultan Abul Fath Abdul Fattah. Di antara isteri-isteri yang disebut-sebut dalam cerita sejarah Banten ialah Nyai Gede Ayu dan Ratu
Nengah. Nyai Gede Ayu adalah putri seorang
ponggawa yang karena amat cantiknya dapat inenarik perhatian Sultan Abdul Fathi
Abdul Fattah. Perkawinan dengan Ratu Ayu tersebut dilakukan setelah isteri
pertamanya meninggal yang dalam sejarah Banten tidak disebutkan namanya. Di
antara putra-putra Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah yang mencapai usia dewasa
ialah Pangeran Purbaya dan Pangeran Gusti yang juga dikenal kelak dengan
julukan Sultan Haji (Michrob, Halwany, dkk.1990).
Sejak Sultan Abul Fathi Abdul Fattah
bertentangan dengan putranya yang bernama Sultan Haji atau Abu Nas’r Abdul
Kohar itu, tatkala beliau telah mengundurkan din dan pemerintahan sehari-hari,
maka ia pergi ke Tirtayasa dan mendirikan keraton yang baru di tempat itu.
Sejak bersemayam di tempat mi ia dikenal dengan julukan Sultan Ageng Tintayasa,
julukan inilah yang paling dikenal hingga kini di kalangan bangsa asing,
sebagaimana ternyata dan catatan-catatan sejarahnya (Tjandrasasmita, 1967:9).
Sultan Abdul Mafakhin Abdul Kadir wafat pada
tahun 1651 dan dibenitakan pula oleh cucunya itu kepada penguasa di Mekkah.
Untuk mempersiapkan utusan persahabatan itu, diperintahkan Mangkubumi Pangeran
Mandura mengkabarkannya kepada Arya Mangunjaya, Mas Dipaningrat dan setiap
warga. Mangkubumi memberitahukan kepada mereka bahwa sultan bermaksud
menginimkan utusan ke Mekkah yaitu Santni Betot dengan tujuh orang lainnya.
Utusan tensebut kecuali untuk menyampaikan surat benita wafat kakeknya, juga
berniat mernperkokoh kedudukannya sebagai Sultan pengganti. Selang beberapa
waktu lamanya maka utusan dan Banten sudah sampai dan kemudian kembali dan
Mekkah. Utusan dan Mekkah sendiri yang datang bersama utusan Banten tendiri dan
Sayid Au, Abdul Nabi, dan Haji Salim. Mereka itu kecuali membawa bingkisan juga
membawa pesan untuk memberi gelar Sultan yang lengkapnya adalah: Sultan Abdul
Fathi Abdul Fattah. Sikap waspada terhadap musuh senantiasa jadi pedoman bagi
Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Sikap tidak mau tunduk begitu saja terhadap
kompeni Belanda tenlihat nyata dan usahausahanya melancarkan garilya-genilya
terutama di daerah Angke Tangerang yang sejak lama merupakan front terdepan,
bahkan menurut berita dan kompeni Belanda sendiri Sultan.
Banten pada sekitar 1652 mangiririkan
sejumlah besar tentaranya untuk mangadakan penyerangan terhadap kompeni Belanda
di Jakarta. Memang benar Sultan Ageng Tirtayasa sejak memegang tampuk
pemerintahan sebagai Sultan Banten sening menginimkan sejumlah besar tentaranya
di daratan maupun di lautan untuk mangganggu kompeni. Peristiwa-peristiwa yang
kecil-kecil selalu tenjadi di berbagai front tempat kedua belah pihak bertemu.
Dengan demikian pihak kompeni Belanda mulai merasa khawatir, lebih-lebih
perjanjian antara Jakarta dengan Banten yang dibuat awal bulan September 1645
yang hanus diperbarui masih menunjukkan tanda-tanda kegagalan dalam
pembaruannya. Karena Banten terus melancankan gerilyanya, maka oleh kompeni
Belanda dijawab dengan blokade pelabuhanpelabuhan yang termasuk kesultanan
Banten. Pada masa itu kapal-kapal asing lainnya yang hendak berdagang dan masuk
di Banten terpaksa mengarahkan haluannya ke negara-negara lain. Sebaliknya,
putranya yang bernama Sultan Abu Nas’r Abdul Kahar atau Sultan Haji berbeda
haluan dan mudah dipengaruhi oleh kompeni Belanda sehingga kemerdekaan Ban-ten
dikorbankannya. (Michrob, Haiwany. 1992)
Keraton yang terletak di Tirtayasa itu
letaknya amat strategis balk untuk perlawanan di lautan maupun di daratan
karena tempat itu kecuali terletak di tepi pantai juga tenletak di jalan kuno
yang dapat dipergunakan untuk manghubungkan serta mempercepat bantuan
tentara-tentara yang dengan mudah mencapai daerah Jakarta. Dan Tirtayasa itulah
Sultan Ageng Tirtayasa marencanakan dan melaksanakan pembangunan di bidang
pertanian dan pengairan.
Saluran yang mudah dilayari perahu-perahu
kecil digali sepanjangjalan kuno, yakni dan sungai Untung Jawa (Cisadane),
Tanara hingga ke Pontang. Diakui pula oleh Gubernur Jenderal John Maestsuyker
dan Dewan Hindia bahwa pembuatan saluran air itu adalah untuk dipergunakan
sewaktu-waktu untuk perjanjian, pengiriman utusan-utusan dan sebagainya. Karena
kesibukan sehari-hari sudah kurang maka Sultan Ageng mulai bertempat tinggal
tetap di keraton Tirtayasa. Sebenarnya dan tempat itu pula ia dapat mengawasi
gerak-gerik putranya yang inemegang tampuk pemerintahan sehari-hari di
Surosowan. Karena memang kekuasaan kesultanan Banten masih ada pada tangan
Sultan Ageng Tirtayasa selaku Sultan tua. Keadaan mi pulalah yang digunakan
untuk menghasut Sultan Haji supaya menentang kebijaksanaan ayahnya, dan mendorong
Sultan Haji untuk segera memperoleh kekuasaan penuh di Banten karena memang
Sultan Haji sangat berkeinginan untuk itu.
Satu hal pula yang mengecewakan Sultan
Ageng Tirtayasa, adalah surat ucapan selamat yang dikirimkan Sultan Haji atas,
diangkatnya kembali Speelman menjadi Gubernur Jenderal VOC menggantikan Rijklof
van Goens pada tanggal 25 November 1680. Padahal pada saat itu Kompeni baru
saja manghancurkan pasukan gerilya Banten di Cirebon dan yang kemudian
menguasai Cirebon seluruhnya.
Melihat keadaan anaknya yang sudah demikian
itu, Sultan Ageng memobilisasikan pasukan perangnya untuk digunakan
sewaktu-waktu. Rakyat dan daerah Tanahara, Pontang, Tirtayasa, Caringin,
Carita dan sebagainya banyak yang mendaftarkan din menjadi Prajurit. Demikian
pula tentara pelarian dan Makasar, Jawa Timur, Lampung, Solebar, Bengkulu dan
Cirebon bergabung dengan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan satu regu
pasukan Sultan Haji yang diutus untuk menyelidiki kekuatan di Tirtayasa ikut
pula bergabung dengan Sultan Ageng. Sultan sudah tidak perduli lagi dengan
tentara dan barigsawan yang berpihak kepada Sultan Haji yang dianggapnya sudah
berpindah adat dan berbeda haluan (Ambary, Hasan, dkk. 1992)
Dalam suasana yang sudah demikian panas,
Sultan Ageng mendengar khabar bahwa beberapa kapal Banten yang pulang dan Jawa
Timur ditahan Kompeni karena dianggap kapal perompak. Tuntutan Sultan Ageng
supaya mereka dibebaskan tidak diindahkan. Hal mi membuat kemarahan Sultan
menjadijadi. Rasa harga din sebagai Sultan dan satu negara merdeka tenasa
diremehkan. Maka diumumkannya bahwa Banten dan Kompeni Belanda ada dalam
situasi perang. Keputusan Sultan Ageng mi ditentang oleh anaknya, Sultan Haji.
Dia menyanggah atas dimaklumkannya perang atas Kompeni Belanda, karena
keputusan itu terlalu ceroboh dan tidak dimusyawanahkan terlebih dahulu
dengannya. Dengan benmodalkan dukungan pasukan Kompeni yang dijanjikan padanya,
Sultan Haji memakzulkan ayahnya. Dikatakannya bahwa ayahnya, Sultan Ageng
Tirtayasa, sudah terlalu tua dan sudah pikun, sehingga mulai saat itu kekuasaan
Banten seluruhnya dipegang oleh Sultan Haji (Hamka, 1976:307).
Melihat tingkah-laku anaknya itu dan juga
untuk menyatukan kekuatan pasukan Banten guna menyerbu Batavia, maka pada tanggal
26 malam 27 Februari 1682 dengan dipimpin sendini oleh Sultan Ageng,
diadakanlah penyerbuan ke Surosowan. Panyerbuan mendadak mi berhasil mematahkan
pelawanan pasukan Sultan Haji yang dalam waktu singkat istana dapat
dikuasainya. Sultan Haji sendiri melarikan din dan minta perlindungan kepada
Jacon de Roy bekas pegawai Kompeni (Tjandrasasmita, 1967:41)
Keadaan mi segera dapat diketahui Batavia.
Maka pada tanggal 6 Maret 1682 dipimpin olëh Sam Martin dikirimkannya dua kapal
perang lengkap dengan pasukan perangnya. Akhirnya setelah terjadi pentempuran
yang lama dan dibantu pula oleh pasukan besar yang dipimpin oleh Kapten
Francois Tack dan Kapten Hartsinck, Surosoan dapat dikuasai Belanda. Sultan
Ageng Tirtayasa dengan sisa pasukannya bergerak munidur ke Kademangan dan
Tanahara. Baru pada tanggal 28-29 Desemben 1882 Tanahara pun dapat direbut
pasukan Kompeni yang dipim5 pin oleh Kapten Jonker. Demikian pulalah dengan
Tirtayasa sebagai pentahanan terakhin pasukan Sultan Ageng. Atas penintah
Sultan Ageng, selunuh pasukan yang masih ada diharuskan mundur ke anah selatan
ke hutan Keranggan. Tapi sebelumnya Sultan memenintahkan pula supaya istana dan
bangunan lainnya di Tintayasa dibakar. Sultan tidak rela hangunan-bangunan itu
diinjak oleh kafin dan pendunhaka (Tjandrasasmita, 1987:44)
Dan hutan Keranggan, Sultan Ageng Tirtayasa
dan seluruh pasukannya melanjutkan perjalanan ke Lebak. Satu tahun meneka
melakukan perang genilya dan sana. Tetapi akhinnya Lebak pun dikepung, sehiagga
pasukan Sultan Ageng tenpecah menjadi dua bagian. Pangeran Purbaya dan sejumlah
tentaranya bergerak di daerah sekitar Parijan, di pedalaman Tangerang. Sultan
Ageng, Pangeran Kidul, Pangeran Kulon, Syekh Yusuf beserta pasukannya bengenak
ke daenah Sajira di perbatasan Bogon.
Sultan Haji berusaha keras agar ayahnya
dapat kembali ke Surosowan. Dengan petunjuk serta nasehat kompeni yang ingin
melakukan tipu daya halus maka Sultan Haji mengirimkan surat kepada ayahnya di
Sajira. Sesudah utusan pembawa surat itu datang di Sajira dan ditenima Sultan
Ageng Tirtayasa, dengan tidak cuniga sedikit pun Sultan yang kala itu usianya
sudah lanjut kembali ke Surosowan setelah ia bertahan di hutan. Tambahan pula
seminggu sebelumnya yakni pada tang-gal 7 Maret 1683 Pangeran Kulon gugur
ditikam oleh orang upahan kompeni. Sultan Ageng Tirtayasa dengan bebenapa pengawalnya
sampailah di Surosowan dan langsung menemui putranya yang telah menantikan
kedatangan ayahnya. Penenimaan Sultan Haji sangat balk meskipun di belakangnya
telah ada maksud tertentu atas bujukan kompeni. Kedatangan di Surosowan itu
tepat pada tanggal 14 Maret 1683 saat tengah malam. Tetapi setelah beberapa
saat Iamanya tinggal di kenaton Surosowan ia ditangkap oleh kompeni untuk
segera dibawa ke Jakarta. Memang itulah maksud dan tipu daya kompeni atas
kerjasama dengan Sultan Haji. Jika Sultan Ageng Tintayasa dibiarkan berada di
Surosowan maka dikhawatinkan oleh kompeni Belanda akan dapat
mempengaruhiSultan Haji yang sudah erat bekerjasama dengan komperii.
Sultan Ageng Tirtayasa dimasukkan ke dalain
penjara berbenteng dengan penjagaan serdadu kompeni hingga meninggal di
penjana pada tahun 1692. Jenazahnya oleh Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin
(anaknya Sultan Haji) dan tenutama oleh nakyat Banten yang amat mencintainya
dan mengakui sebagai pahiawan besan yang dengan gigihnya mempentahankan kemerdekaan
kesultanan Banten yang dimintakan kepada pemerintah tinggi kompeni Belanda
untuk dikinimkan kembali. Kemudian dengan upacara keagamaan yang amat
mengesankan Ia dimakamkan di samping Sultan-Sultan yang mendahuluinya di
sebelah utara Mesjid Agung (Tjandnasasmita, 1967:46).
Sesudah masa Sultan Ageng Tirtayasa adalah
menupakan masa sunutnya pengaruh politik kenajaan Banten. Banten telah ada
dalam penganuh pengawasan Belanda. Sultan Ageng Tintayasa wafat di dalam
penjara kompeni Belanda di Jakarta dan dimakamkan sebagai seorang pahlawan
besar oleh raja dan rakyat Banten serta dimakamkan di komplek makarn naja-raja
Ban-ten yang terletak di sebelah utara serambi mesjid Agung Banten. Walaupun
secara politis kekuasaan kerajaan dan pemerintahan telah ada di tangan
Belanda, namun pe~juangan dan syiar Islam masih tetap diteruskan oleh para
pengikut yang setia kepada cita-cita perjuangan Sultan dan para pendahulunya.
Perjuangan ternyata tidak terhenti walaupun sistem perjuangan yang dipakai
sistem penang gerilya.
Ketika Sultan Ageng Tirtayasa wafat atas
tipu daya Belanda dan kerjasama Sultan Haji serta gugurnya Pangeran Kulon,
semangat perjuangan menentang dominasi Belanda tidaklah barkurang. Hal mana menjadikan
motivasi pejuang yang pro Sultan Ageng Tintayasa semakin meningkat kanena
kekuasaan kerajaan Bariten di bawah Sultan Haji telah ada dalam penganuh
politik Belanda. Jajanan pejuang terdini dan keluarga
kerajaan, pana ulama dan nakyat masih terus
berjuang di hutanhutan menentang kolonialisme Belanda. Tokoh gerilya itu diantaranya
adalah seorang ulama Banten asal Makasar yang diangkat mufti kenajaan Banten
semasa Sultan Ageng Tirtayasa yang bennama Syekh Yusuf.
SILSILAH SULTAN AGENG TIRTAYASA
ABDUL FATH ‘ABDUL FATTAH (1851-1872)
Sultan Ageng Tirtayasa Abdul Fath ‘Abdul Fattah adalah putna Sultan Abdul Ma’ali Ahmad. Adapun Sultan Ageng Tintayasa Abdul Fath’ Abdul Fattah benputra:
1. Sultan Haji*) 16. Tubagus
Muhammad Athif
2. Pg. Arya Abdul ‘Alim 17. Tubagus
Abdul
3. Pg. Arya Ingayudadipuna 18. Ratu
Baja Mirah
4. Pg. Anya Punbaya 19. Tubagus
Kulon
5. Pangenan Sugiri 20. Ratu
Kidul
6. Tubagus Rajasuta 21. Ratu
Marta
7. Tubagus Rajaputna 22. Ratu
Adi
8. Tubagus Husen 23. Ratu
Uinu
9. Raden Mandaraka 24. Ratu
Hadijah
10. Raden Saleh 25. Ratu
Habibah
11. Raden Sum 26. Ratu
Fatimah
12. Raden Mesir 27. Ratu
Asyiqoh
13. Reden Muhammad 28. Ratu
Nasibah
14. Raden Muhsin 29. Ratu
Ayu
15. Tubagus Wetan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar